Abstract
The
diagnostics of periodontal disease relies primarily on clinical and
radiographic parameters. These measures are useful in detecting evidence for
past disease, or verifying periodontal health, but provide limited information about
patients at risk for future periodontal breakdown. Saliva can be easily
collected, contains locally derived and systemically-derived markers of
periodontal disease, and hence may offer the basis for a patient specific diagnostic
test for periodontitis. Furthermore, the analysis of saliva may offer a
cost-effective approach to assess periodontal disease incidence in large
populations. The use of saliva in periodontal diagnostics has been the subject
of considerable research activity, and proposed markers for disease include
proteins of host origin, phenotypic markers, host cells, hormones, bacteria and
bacterial products, volatile compounds and ions. Their results indicate that
saliva might contain markers useful for diagnosis of periodontal disease. CRP,
C3 and α-2M are humoral inflammatory markers and acute phase reactants. Reduced
levels of these proteins in saliva of patients with CP, indicates that in this
chronic disorder host inflammatory response is reduced 17–20. C4 is also a
humoral inflammatory marker and acute phase reactant. In contrast to C4, C3 and
α-2M is higher in AgP in comparison to CP patients or PH group. Reduced
concentrations of these proteins and C4 in EP group can be explained by the
lack of gingival fluid component in their saliva.
Keywords: Saliva,
biomarker, periodontitis
Saliva adalah suatu cairan rongga mulut
yang kompleks dan terdiri atas campuran sekresi kelenjar ludah mayor dan minor
yang ada pada mukosa rongga mulut. Saliva yang terbentuk dalam rongga mulut,
kurang lebih 90% dihasilkan oleh kelenjar submandibularis dan parotis, 5% oleh
kelenjar sublingual, dan 5% lainnya dihasilkan oleh kelenjar ludah minor.1
Setiap hari, kelenjar saliva manusia menghasilkan 600 mL serosa dan mucin
saliva yang mengandung mineral, elektrolit, buffer, enzim dan inhibitor enzim,
faktor pertumbuhan dan sitokin, imunoglobulin, mucin, dan glikoprotein lainnya.
Setelah melewati duktus dan masuk ke dalam rongga mulut, saliva akan bercampur
dengan sel-sel darah, mikroorganisme (virus, bakteri dan jamur) dan
produk-produknya, sel-sel epitel rongga mulut dan produk sel, sisa makanan,
serta sekresi saluran pernapasan atas.2,3
Meskipun kandungan terbesarnya adalah
air, saliva memiliki peran fisiologis dalam lubrikasi dan perbaikan mukosa
rongga mulut, pembentukan dan penelanan bolus makanan, pencernaan karbohidrat,
memungkinkan fungsi indera pengecap, dan mengendalikan populasi mikroba
orofaring. Saliva juga membantu pembentukan plak, melalui sifat supersaturasi
dengan mineral gigi, suatu proses dimana email gigi dapat termineralisasi.
Selain itu, saliva juga memiliki komponen antimikroba dan agen buffer yang
melindungi dan memelihara jaringan rongga mulut. Protein yang ditemukan dalam
saliva, antara lain laktoferin, lisozim, peroksidase, defensin, dan histatin,
dapat menghancurkan atau menghambat perkembangan mikroorganisme, yang memiliki
sifat fungisidal.2
Komponen multifaktorial dalam saliva
tidak hanya melindungi integritas jaringan rongga mulut, tapi juga memberikan
petunjuk terjadinya penyakit atau kondisi sistemik dan lokal. “Biormarker”
saliva ini telah seringkali dieksplorasi untuk memonitoring kesehatan dan
diagnosis dini suatu penyakit.2
Biomarker saliva dalam pembentukan oral biofilm pertama kali dikenalkan
oleh Carlson dan Criitenden pada tahun 1990 meliputi marker spesifik seperti
imunoglobulin, enzim dan marker nonspesifik seperti, growth factor, hormon, protein, serta marker inflamasi seperti
protaglandin E2, interleukin (IL)-1 beta, IL-6, TNF-α.4
Sumber : Mandel
ID.The diagnostic uses of Saliva. J Oral Pathol Med.1990;19:119-25.
Saliva telah dipelajari secara
ekstensif dalam hubungannya dengan
penyakit periodontal karena sangat mudah dikumpulkan dan memungkinkan analisis
pada beberapa penanda lokal atau sistemik seperti protein, enzim, sel host,
hormon, produksi bakteri, komponen volatile dan ion.5
PERIODONTITIS
Periodontitis
umumnya di sebabkan oleh plak-plak yang terdiri dari lapisan tipis biofilm yang
mengandung bakteri, produksi bakteri dan makanan. Lapisan ini melekat pada
permukaan gigi dan berwarna putih atau putih kekuningan. Plak yang menyebabkan
periodontitis adalah plak yang berada tepat diatas garis gusi. Bakteri dan
produknya dapat menyebar kebawah gusi sehingga terjadi proses peradangan dan
terjadilah periodontitis. Periodontitis dapat juga melibatkan hilangnya
progresif dari tulang alveolar di sekitar gigi, dan jika tidak diobati, dapat
menyebabkan pengenduran dan selanjutnya kehilangan gigi.6
Periodontitis Agresif adalah penyakit periodontal
destruktif dan berkembang cepat, ditandai kerusakan yang cepat dari ligamen
periodontal dan tulang alveolar, kehilangan gigi, dan respons minim terhadap
terapi periodontal.7 Pada penyakit ini, bakteri plak dan kalkulus
tampak sedikit, tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi sangat cepat dan
progresif. Beberapa literatur menyatakan adanya hubungan antara kerusakan yang
terjadi dengan defek pada respons imun dan faktor genetik. 7-11
Periodontitis
Agresif Menyeluruh mengenai usia dibawah 30 tahun 7,8,10, namun
kadang-kadang terjadi pada individu yang lebih tua.6-13 Kelainan ini
ditandai dengan kehilangan perlekatan interproksimal menyeluruh, mengenai
sedikitnya tiga gigi permanen lainnya selain molar pertama dan insisif.8
Gambaran radiografis menunjukkan kerusakan tulang mengenai hampir seluruh gigi,
dapat berbentuk vertikal atau horisontal atau kedua-duanya.9,15
Gambaran klinis menunjukkan gingiva dengan peradangan akut dan parah, sering
proliferasi, ulserasi, supurasi, dan berwarna merah terang. Perdarahan spontan
atau dengan stimulasi ringan. Respons ini terjadi pada tahap destruktif atau
aktif.8-10 Penyakit ini dapat berhenti secara spontan atau setelah
terapi periodontal. Pada keadaan lain kerusakan terus berlanjut sehingga
penderita kehilangan gigi-geligi, meskipun telah dilakukan perawatan
periodontal secara konvensional.8-10 Beberapa spesies bakteri
seperti Actinobacillus actinomycetemcomitans (Aa), Porphyromonas
gingivalis (Pg), Prevotella intermedia (Pi), dan Bacteriodes forsythus meningkat
jumlahnya. Pertumbuhan bakteri ini dikaitkan dengan gangguan mekanisme regulasi
sistem imun, yaitu terdapat defek fungsional pada polymorphonuclear leukocytes
(PMNs), monosit, atau keduanya.7,12 Defek ini dapat merusak, baik
kemotaksis PMN terhadap daerah infeksi ataupun kemampuan fagositosis dan
mengeliminasi mikroorganisme. Defek pada PMN, monosit dan faktor genetik memungkinkan
infeksi bakteri.8,13,15Interleukin yang tersering dihubungkan dengan
Periodontitis Agresif adalah IL-1, IL-6, dan IL-8, yang diproduksi oleh sel
fagosit mononuklear, sel T, sel B, sel epitel, endotel, fibroblast,
keratinosit, platelet, dan sel sinovial.8 IL-1 adalah suatu
polipeptida dengan variasi aktivitas dan peranan yang luas dalam homeostasis
jaringan, reaksi inflamasi, respons imunologik, dan patogenesis kerusakan
jaringan pada penyakit periodontal destruktif.12,16 Polimorfisme
IL-1 dapat menjadi petunjuk genetik yang berhubungan dengan keparahan penyakit
periodontal.16,17 Bentuk IL-1α dan IL- 1β berikatan dengan reseptor
yang sama.16
Periodontitis kronis
secara umum merupakan penyakit yang berjalan lambat dan merupakan bentuk
periodontitis yang paling sering dijumpai. Etiologi periodontitis adalah
infeksi bakteri yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor daya tahan
tubuh. Prosentase bakteri yang ditemukan pada periodontitis adalah bakteri
anaerob (90%) dan bakteri gram negatif (75%).18 Kerusakan jaringan
periodontal disebabkan oleh pelepasan dan pengaktifan mediator-mediator
inflamasi dan sitokin serta enzim-enzim proteolitik seperti matriks
metalloproteinase (MMPs) yang berperan dalam perubahan metabolisme jaringan
ikat dan tulang.19
Gambaran klinis yang khas pada pasien periodontitis
kronis yang tidak menjalani perawatan diantaranya akumulasi plak, kalkulus
supragingiva dan subgingiva, inflamasi gusi, pembentukan poket, hilangnya
perlekatan, hilangnya tulang alveolar dan kadang terjadi supurasi. Pasien
dengan oral higiene yang buruk yang buruk, gingiva biasanya oedem dan
menunjukan perubahan warna dari merah pucat sampai magenta. Terjadi kehilangan
stipling gusi dan permukaan margin gusi berubah menjadi tumpul atau membulat
disertai papila yang datar atau berbentuk kawah.20 Aktifitas rutin
sehari-hari seperti pengunyahan dan prosedur oral hygiene dapat
menyebabkan bakteriemi dari mikroorganisme mulut. Penyakit periodontal menjadi
penyebab meningkatnya terjadinya bakteriemi termasuk keberadaan bakteri Gram
negatif yang merupakan bakteri dominan pada periodontitis.20.
Jaringan periodontal yang mengalami periodontitis bertindak sebagai reservoir
endotoksin (LPS) dari bakteri Gram negatif. Endotoksin dapat masuk ke dalam
sirkulasi sistemik selama fungsi pengunyahan, menimbulkan dampak negatif pada
jantung. Infeksi periodontal berpotensi menjadi infeksi sistemik, ini
menyebabkan keadaan hiperkoagulasi dan peningkatan viskositas darah.
Bertambahnya kekentalan atau viskositas darah dapat meningkatkan terjadinya
penyakit jantung iskemia dan stroke karena resiko terbentuknya trombus.21
Proses inflamasi
sistemik (bakteriemi) karena penyakit periodontal mempunyai pengaruh langsung
dan tidak langsung terhadap pembuluh darah. Pengaruh yang langsung melalui
bakteri dan produknya yang dapat merusak pembuluh darah secara langsung dengan
mempengaruhi sel endotel, koagulasi darah, metabolisme lemak, monosit atau
makrofag. Sedangkan pengaruh tidak langsung dengan menstimulasi peningkatan
respon inflamasi sistemik seperti protein C-reaktif dan fibrinogen, hal ini
menyebabkan peningkatan resiko terjadinya aterosklerosis.21,22
PEMBAHASAN
Dari
hasil penelitian
yang melibatkan 51 orang, 25 laki-laki dan
26 perempuan.
Dua kelompok penelitian terdiri dari
18 pasien periodontitis agresif (AGP) , 9 laki-laki dan 9 perempuan dan 10 pasien periodontitis kronis (CP) , 5 laki-laki dan 5
perempuan, dirujuk ke departemen Dental School University di Zagreb untuk
pengobatan penyakit periodontal. Usia
rata-rata di Kelompok AGP 33 tahun, mulai 19-52
tahun, dan usia rata-rata pada kelompok CP adalah
38 tahun, mulai 29-49 tahun. 25 Kriteria untuk AGP
adalah: riwayat keluarga memiliki
penyakit periodontal, kehilangan
perlekatan interproksimal secara general yang mempengaruhi setidaknya 4 gigi permanen
selain geraham pertama dan gigi seri,
dan radiografi-terbukti
terdapat resopsi tulang vertikal.23 Kriteria untuk CP adalah:
inflamasi gingiva, terdapat poket
dengan kehilangan perlekatan klinis pada setidaknya 10 lokasi dengan kedalaman lebih dari 5 mm yang menyebar
pada beberapa gigi dan pemeriksaan
radiografi terdapat kehilangan tulang
alveolar lebih dari 1/3 dari panjang
akar pada setidaknya 1 gigi per kuadran.24
Semua sampel air liur dikumpulkan
di pagi hari, pada minimal 2 jam setelah setiap asupan
makanan. Saliva dikumpulkan tanpa
distimulasi setelah rongga mulut
di irigasi dengan air. Setelah irigasi, subyek mengambil 5 ml air dan memegangnya selama 5 menit dalam rongga mulut, setelah itu sampel diambil. Saliva tidak distimulasi diperoleh pasif dengan meneteskan air liur
selama 10 menit dengan
posisi subyek dalam duduk santai.
Sekitar 4-5 ml air
liur ditempatkan dalam tabung tes
es dingin dan diangkut
ke Departemen Laboratorium Diagnostik,
University Hospital Pusat Zagreb.
Semua sampel homogen, disimpan pada -70 ° C
dan diuji secara bersamaan. Untuk menentukan waktu variabilitas saliva diuji dalam 5
pasien dengan AGP dan 5 dengan CP, sampel
diperoleh 3 kali
selama periode 1 jam. Selain itu, konsentrasi zat diuji ditentukan pada
subyek yang sama dengan diet standar selama 3 hari berturut-turut.25
Pada
penelitian ini didapatkan hasil seperti pada tabel 1 menunjukkan nilai mean dan
standar deviasi (SD) dari variabel: CRP, C3, C4 dan-2M. Kelompok berbeda dalam
konsentrasi penanda proinflamasi diamati dalam air liur yang tidak distimulasi.
Nilai CRP dalam air liur yang tertinggi pada kelompok AGP (102,11 ± 79,02),
maka pada kelompok PH (90,20 ± 79,67),
sedangkan kelompok CP dan EP menunjukkan secara signifikan nilai yang lebih
rendah (27,45 ± 29,59) dan (20,72 ± 29,51). Ada perbedaan perbedaan yang
signifikan dalam konsentrasi CRP antara EP dan AGP, dan CP dan kelompok AGP.25
Kelompok yang diuji
menunjukkan hubungan yang sama ketika konsentrasi C3 dianalisis. Demikian pula nilai-nilai tinggi diamati pada PH dan kelompok AGP
(10.74 ± 8.03
dan 10.39 ± 5,08),
sedangkan EP dan CP
kelompok menunjukkan hampir tiga kali konsentrasi C3 rendah dalam air
liur (3.79 ± 2.25 dan 3.62 ± 2.94).
Perbedaan signifikan secara statistik antara kelompok berpasangan PH dan EP,
PH dan CP, AGP
dan EP, dan AGP dan CP. 25
Data menunjukkan bahwa pasien dengan
berbagai jenis periodontitis berbeda antara orang yang sehat dengan ludah
mereka yang terinflamasi. Ini mendukung hipotesis
bahwa analisis biokimia air liur mungkin menjadi penting secara non-invasif
untuk mempelajari proses penyakit periodontitis.26 Namun, karena
kehilangan gigi memberikan sebuah pengaruh yang sangat kuat pada variabel
tersebut, studi masa depan harus mengambil faktor ini untuk diperhitungkan.
Konsentrasi TNF dalam air liur di bawah tingkat deteksi komersial tes yang
tersedia dan peneliti yang ingin mengukur harus menggunakan metode alternatif. CRP,
C3 dan α-2M adalah penanda inflamasi humoral dan reaktan fase akut. Menurunnya
tingkat protein ini dalam air liur pasien dengan CP, menunjukkan bahwa dalam
gangguan respon host inflamasi kronis ini menurun 17-20. C4 juga merupakan
penanda inflamasi humoral dan reaktan fase akut. Berbeda dengan C4, C3 dan α -2M
lebih tinggi di AGP dibandingkan dengan pasien CP atau kelompok PH. Pengurangan
konsentrasi protein dan C4 dalam kelompok EP dapat dijelaskan oleh kurangnya
komponen cairan gingiva dalam air liur mereka. Singkatnya, data kami
menunjukkan bahwa pengukuran penanda inflamasi dalam air liur mungkin jalan
yang berharga untuk mengetahui kesehatan periodontal dan penyakit lainnya,
dengan mempertimbangkan bahwa kehilangan gigi sangat mempengaruhi temuan ini.
CP ditandai dengan pengurangan konsentrasi penanda inflamasi yang berbeda, yang
menunjukkan bahwa respon host menjadi berkurang karena patogenesis ini.25
Kandungan
sekresi saliva yang berasal dari cairan sulkus gingiva mengandung enzim yang
dikeluarkan oleh sel inang pada poket periodontal yang mengalami infeksi. Pasien
periodontitis kronis
yang tidak diobati
menunjukkan tingkat alkaline phosphatase
yang lebih tinggi
secara keseluruhan pada air liur daripada
pasien kontrol sehat.27
Ishikawa dan
Cimasony28 menunjukkan
korelasi
positif alkali fosfatase
pada pasien
periodontitis dengan
kedalaman poket.
Alkali fosfatase
dirilis oleh
butiran
sekunder
neutrofil dan konsentrasinya
meningkat secara signifikan dengan
akumulasi plak
dan meningkatkan peradangan.
Jadi
enzim ini
harus dianggap sebagai
indikator terbaik
untuk penyakit periodontal.
Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Randhir
Kumar dan Geeta Sharma29 pada tiga kelompok
subyek-kelompok I yang sehat, kelompok
II - umum gingivitis dan Kelompok III
periodontitis umum, ditemukan bahwa tingkat alkali fosfatase saliva
meningkat dengan peningkatan kerusakan periodontal. Total jumlah tingkat alkali
fosfatase yang signifikan lebih tinggi pada periodontitis dibandingkan ke situs
yang sehat dan gingivitis, dan secara signifikan dan berkorelasi positif dengan
kedalaman probing dan indeks gingiva. Serupa pengamatan yang dilakukan oleh
Nakamura M dan Slots J3 dalam studi mereka. Ishikawa dan Cimasoni28
menunjukkan korelasi positif dari basa fosfatase pada pasien periodontitis
dengan peningkatan kedalaman poket. Pengamatan ini juga bertepatan dengan
pengamatan ini.
Tabel
1; Hasil
pengamatan kandungan Alkali fosfatase
pada saliva
Sumber: Andrej Aurer, Ksenija Jorgi-Srdjak, Darije Plan~ak, Ana Stavljeni-Rukavina and Jelena Aurer-Ko`elj. Proinflammatory
Factors in Saliva as Possible Markers for Periodontal Disease. 2005; 2: 435–439
Tabel 2;
Marker dan Tipe Periodontitis
Sumber
: William V. Giannobile, Thomas Beikler, Janet S.Kinney, Christoph A.Ramseier,
Thiago morelli & David T.Wong.. Saliva as a
diagnostic tool for periodontal disease: current state and future directions.
2009; 50 :52–64
Sumber : William V.
Giannobile, Thomas Beikler, Janet S.Kinney, Christoph A.Ramseier, Thiago
morelli & David T.Wong.. Saliva as a diagnostic tool for periodontal
disease: current state and future directions. 2009; 50 :52–64
Interleukin (IL) 1β adalah sitokin proinflamasi yang merangsang induksi molekul adhesi dan mediator lainnya yang pada gilirannya memfasilitasi dan memperkuat respon inflamasi. Tingkat yang berkorelasi
signifikan sebagai parameter penyakit periodontal. Apalagi dipadukan dengan
peningkatan IL-1α dan matriks
metalloproteinase (MMP) -8
yang berarti meningkatnya risiko mengalami penyakit periodontal.31
MMPs: MMP-8
kunci enzim ekstraseluler degradasi
matriks kolagen, yang berasal terutama
dari PMNs selama tahap penyakit periodontal akut juga berkorelasi secara signifikan dengan aktivitas
periodontal. Kehadirannya secara signifikan meningkatkan
risiko penyakit periodontal. Korelasi yang kuat antara
MMP-8 dan metode tradisional
diagnostik periodontal lanjut mendukung pendapat bahwa MMP-8
adalah tidak hanya indikator keparahan penyakit, namun aktivitas penyakit juga. MMP-1 (kolagenase
interstisial) juga muncul pada
periodontitis.31 Tingginya tingkat MMP lainnya, termasuk MMP-2, MMP-3 dan MMP-9, yang juga
dilaporkan dalam air liur pasien dipengaruhi oleh periodontitis.
Imunoglobulin. Pasien dengan penyakit
periodontal terbukti memiliki konsentrasi saliva lebih tinggi pada Ig A, Ig G
dan Ig M spesifik untuk periodontal patogen dibandingkan dengan pasien yang
sehat.32
Esterase, lisozim, laktoferin:
Secara signifikan, terdapat korelasi
positif antara esterase dan pembentukan
kalkulus pada saliva. Penemuan ini menunjukan bahwa aktivitas
esterase dari seluruh
air liur lebih tinggi pada individu
dengan penyakit periodontal dibandingkan subyek periodontal yang sehat. Pasien dengan tingkat
lisozim dalam air liur yang rendah lebih rentan terhadap akumulasi plak,
yang dianggap sebagai faktor risiko
untuk penyakit periodontal.33
Laktoferin sangat diatur dalam sekresi mukosa selama inflamasi
gingiva dan terdeteksi dengan konsentrasi
tinggi dalam air liur pada pasien dengan penyakit
periodontal dibandingkan dengan
pasien sehat.34
Senyawa sulfur Volatile, terutama
hidrogen sulfida dan methylmercaptan, adalah terkait dengan oral malodour.35
Volatil air liur telah diusulkan
sebagai kemungkinan penanda diagnostik
dan faktor-faktor yang berkontribusi pada penyakit periodontal. Sebagai contoh, piridin dan picolines ditemukan hanya pada subyek dengan periodontitis parah. 36
Prostaglandin E2 adalah salah satu mediator yang paling ekstensif
dipelajari pada aktivitas penyakit periodontal. Prostaglandin E2 bertindak
sebagai vasodilator kuat dan meningkatkan permeabilitas kapiler, yang
memunculkan tanda-tanda klinis kemerahan dan edema. Hal ini juga merangsang
fibroblas dan osteoklas untuk meningkatkan produksi MMPs.37
Musin adalah
glikoprotein yang diproduksi oleh
kelenjar ludah submandibula dan
sublingual dan banyak kelenjar
ludah minor. Fisiologis fungsi mucins
(MG1 dan Mg2)
adalah sitoproteksi, pelumasan, perlindungan
terhadap dehidrasi dan pemeliharaan viscoelasticity pada sekresi. Mucin, Mg2, mempengaruhi
agregasi dan kepatuhan bakteri dan dikenal untuk berinteraksi dengan Aggregatibacter actinomycetemcomitans, dan
konsentrasi menurun dari Mg2 dalam saliva dapat meningkatkan kolonisasi dengan periodontopathogen.38
Histatin adalah protein saliva dengan antimikroba
dan disekresikan dari kelenjar parotis dan submandibular.
Ini menetralkan endotoksik
lipopolisakarida yang terletak di membran bakteri gram negatif. Histatin juga merupakan penghambat host dan enzim bakteri
yang terlibat dalam penghancuran periodonsium.
Selain karena kegiatan antimikroba,
histatin terlibat dalam penghambatan
pelepasan histamin dari mast sel, mempengaruhi peran
mereka dalam radang mulut.39
Peroksidase merupakan enzim saliva diproduksi oleh sel-sel
asinar dalam kelenjar ludah. Enzim
ini menghilangkan hidrogen peroksida beracun yang dihasilkan oleh mikroorganisme
mulut dan mengurangi produksi asam
dalam gigi biofilm, sehingga
mengurangi akumulasi plak dan
pembentukan gingivitis dan karies.
Pasien dengan penyakit periodontal
telah menunjukkan tingkat enzim ini tinggi dalam air liur.40
Ulasan pada literatur
ini mengenai
kegunakan air liur untuk
diagnosis periodontal dengan beberapa
kesimpulan yang bisa ditarik tentang
jenis indikator biokimia yang
tampaknya menjanjikan sebagai tes
untuk penyakit periodontal.
KESIMPULAN
“Biormarker” saliva ini telah seringkali
dieksplorasi untuk memonitoring kesehatan dan diagnosis dini suatu penyakit Saliva
telah dipelajari secara ekstensif dalam
hubungannya dengan penyakit periodontal karena sangat mudah dikumpulkan dan
memungkinkan analisis pada beberapa penanda lokal atau sistemik seperti
protein, enzim, sel host, hormon, produksi bakteri, komponen volatile dan ion.
Biomarker pada periodontitis agresif dan
kronis terjadi peningkatan IgG,IgA,dan IgM dibandingkan pada periodontal sehat.
CRP, C3 dan α -2M
lebih tinggi pada periodontitis agresif dibandingkan periodontitis kronis dan
periodontal sehat. Alkali fosfatase meningkat pada
periodontitis agresif dan periodontitis kronis. Interleukin (IL) 1β, MMP-8,
Prostaglandin E2 meningkat pada periodontitis kronis dan
agresif. Esterase dan laktoferin meningkat pada periodontitis dan lisozim yang
menurun pada periodontitis. Musin akan menurun pada periodontitis agresif. Histatin
meningkat pada periodontitis kronis dan agresif. Peroksidase meningkat pada
periodontitis kronis.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kidd
EAM, Bechal SJ. Karies dan saliva. In: Dasar-dasar karies dan
penanggulangannya, Sumawinata N, Faruk F, alih bahasa. Jakarta: EGC. P.66-67.
2.
Lawrence
HP. Salivary markers of systemic disease: Noninvasif diagnosis of disease and
monitoring of general health. J Can Dent Assoc, 2002; 68(3): 170-4.
3.
Dawes
C. Salivary flow pattern and the health of hard and soft oral tissues. JADA,
2008; 139: 185-146. Downloaded from http://www.jada.ada.org on Sept, 23 2013/
4.
Mandel
ID.The diagnostic uses of Saliva. J Oral Pathol Med.1990;19:119-25.
5.
Kaufman
E. Lamster IB. Analysis of Saliva for periodontal diagnosis. A review.J Clin Periodontal.
2000;27:453-465.
6.
Houwink,
B. Sutatmi Suryo Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan.Yogyakarta:Gajah Mada Univ.press,1994—Cet.ke:-,Ed.—
7.
Gehrig
JSN, Willmann DE. Foundations of Periodontics for the Dental Hygienist.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003: 157,158,162-164,296.
8.
Nagy
RJ, Novak KF. Aggressive Periodontitis. In: Carranza FA, Newman MG, Takei HH,
eds. Carranza’s Clinical Periodontology. 9th ed. Philadelphia: WB
Saunders Co, 2002: 409-413.
9.
Fedi
PF, Vernino AR, Gray JL. The Periodontic Syllabus. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2000: 34,35,168-173.
10.
Dalimunthe
SH. Periodonsia. Medan: USU Press, 2001: 211-217, 221-224.
11.
Manson
JD, Eley BM. Buku Ajar Periodonti. Alih bahasa, Anastasia S. Ed ke-2.
Jakarta: Hipokrates, 1993: 198-207, 233-241.
12.
Mustaqimah
DN. Respons Imun Seluler terhadap Penyakit Periodontium Khususnya pada Juvenile
Periodontitis dan Rapidly Progressive Periodontitis. Jurnal KedokteranGigi
Universitas Indonesia., 1997: 247-255
13.
Newman MG, Klokkevold PR. Treatment of Juvenile
Periodontitis. In: Nevins M, Mellonig JT. Periodontal Therapy Clinical
Approaches and Evidence of Success. Chicago: Quintessence, 1998; 1:
101-115.
14.
Jenkins
WMM, Allan CJ. Periodontics: A Synopsis. 1st ed. Oxford: Reed
Educational and Professional Pub, 1999: 95-96, 117-120.
15.
Wilson
TG, Kornman KS. Fundamentals of Periodontics. Chicago: Quintessence,
1996: 389-408.
16.
Yoshinari
N, Kawase H, Mitani A, et al. Effects of scaling and root planing on the
amounts of interleukin-1 and interleukin-1 receptor antagonist and the mRNA
expression of interleukin-1β in gingival crevicular fluid and gingival tissues.
J Periodont Res 2004; 39: 158- 167.
17.
Sakellari
D, Koukoudetsos S, Arsenakis M, et al. Prevalence of IL-1A and IL-1B
polymorphisms in a Greek population. J Clin Periodontol 2003; 30: 35-41.
18.
Keith
L, Mario Taba, Rossa C, Philip M, William. Molecular biology of the host
microbe interaction in periodontal disease. In: Carranza’s clinical periodontology
10thed. Philadelphia: W.B Saunder Company. 2006: 259-74
19.
Page
RC. The pathobiology of periodontal disease may affect systemic disease. Annals
of periodontology. 1998: 108:20.
20.
Varma
BRR, Nayak RP. Current concepts in periodontics. 1thed. New Delhi: Chaman
Enterprises. 2002
21.
Mealey
BL, Perry RK. Periodontal medicine : Impact of periodontal infection on
systemic health. In: Carranza’s clinical periodontology 10thed. Philadelphia:
W.B Saunder Company. 2006: 312-29
22.
Paquette
DW, Nadine Bradola, Timoyhy CN. Cardiovascular disease, inflammation and
periodontal infection. Periodontology 2000. 2007: 113-26.
23.
Tonetti,M.S.A. Mombelli. Aggressive periodontitis. In: LINDHE,
J., T. KARRING, N. P. LANG (Eds.): Clinical Periodontology and Implant
Dentistry. (Blackwell, Munksgaard, 2003). —
24.
Kinane, D.F.,J.Lindhe. Chronic periodontitis. In: LINDHE, J., T.
KARRING, N. P. LANG (Eds.): Clinical Periodontology and Implant Dentistry.
(Blackwell, Munksgaard, 2003).
25.
Andrej Aurer, Ksenija Jorgi-Srdjak,
Darije Plan~ak, Ana Stavljeni-Rukavina
and Jelena Aurer-Ko`elj. Proinflammatory Factors in Saliva as
Possible Markers for Periodontal Disease.
2005; 2: 435–439
26.
Jentsch, H.,Y.Sievert,R.J.Gocke.Jentsch Clin. Periodontol., 31
(2004) 511. —
27.
Nakamura
M. and Slots J.- Salivary enzymes origin and relationship to periodontal
disease. J. Peridontol Res 1983;18: 559-569.
28.
Mandel
ID: Markers of periodontal disease susceptibility and activity derived from
saliva. In Johnson NW: Risk markers of oral diseases, vol-3, 1991
29.
Kumar ,Randhir dan Geeta Sharma. Salivary
Alkaline Phosphatase level as Diagnostic marker for periodontal disease.2011.;Vol3:81-86
30.
William
V. Giannobile, Thomas Beikler, Janet S.Kinney, Christoph A.Ramseier, Thiago
morelli & David T.Wong.. Saliva as a diagnostic tool for periodontal
disease: current state and future directions. 2009; 50 :52–64
31.
Miller
CS, King CP Jr, Langub MC, Kryscio RJ, Thomas MV. Salivary biomarkers of
existing periodontal disease: a cross sectional study. Journal of American
Dental Association 2006;137:322-29.
32.
Seemann
R, Hagewald SJ, Sztankay V, Drews J, Bizhang M, Kage A. Levels of parotid and
submandibular D sublingual salivary immunoglobulin A in response to
experimental gingivitis in humans. Clinical Oral Investigations 2004;8:233–37.
33.
Jalil
RA, Ashley FP, Wilson RF. The relationship between 48-h dental plaque
accumulation in young human adults and the concentrations of hypothiocyanite,
_free_ and _total_ lysozyme, lactoferrin and secretory immunoglobulin A in
saliva. Arch Oral Biol 1992: 37: 23–28.
34.
Groenink
J, Walgreen-Weterings E, Nazmi K, Bolscher JG, Veerman EC, van Winkelhoff AJ,
Nieuw Amerongen AV. Salivary lactoferrin and low-Mr mucin MG2 in Actinobacillus
actinomycetemcomitans-associated periodontitis. J Clin Periodontol 1999: 26:
269–275.
35.
Higashi
MK, Veenstra DL, del Aguila M, Hujoel P. The costeffectiveness of interleukin-1
genetic testing for periodontal disease. J Periodontol 2002: 73: 1474–1484.
36.
Rosenberg
M, Kozlovsky A, Gelernter I, Cherniak O, Gabbay J, Baht R, et al.
Selfestimation of oral malodour. Journal of Dental Research 1995;74,1577-82.
37.
Airila-Mansson
S, Soder B, Kari K, Meurman JH. Influence of combinations of bacteria on the
levels of prostaglandin E2, interleukin-1beta, and granulocyte elastases in
gingival Crevicular fluid and on the severity of periodontal disease. Journal of Periodontology 2006;77:
1025-31.
38. Groenink J, Ligtenberg AJ, Veerman EC, Bolscher JG, Nieuw Amerongen
AV. Interaction of the salivary lowmolecular- weight mucin (MG2) with Actinobacillus actinomycetemcomitans. Antonie Van Leeuwenhoek 1996: 70: 79–87.
39. Gusman H, Travis J, Helmerhorst EJ, Potempa J, Troxler RF, Oppenheim
FG. Salivary histatin 5 is an inhibitor of both host and bacterial enzymes
implicated in periodontal disease. Infect Immun 2001: 69: 1402–1408.
40. Guven Y, Satman I, Dinccag N, Alptekin S. Salivary peroxidase
activity in whole saliva of patients with insulindependent (type-1) diabetes
mellitus. J Clin Periodontol 1996: 23: 879–881.